Diary Londoner #1: Pengalaman Tinggal di London, Survive Tahun Pertama
Baru saja tiba di London, Oktober 2023 |
Hai, Ol!
Aku ingin menyimpan kenangan pengalaman tinggal di London City agar terekam secara digital. Apa yang kulihat, kulakukan, dan kurasakan selama tinggal di sini. Jadi, mungkin ini bukan satu-satunya tulisan yang akan kuunggah (kalau nggak males😅) di (((rubrik))) Diary Londoners.
Kali ini kubuka dengan merekap setahun pertamaku dan keluarga survive tinggal di London, capitol of United Kingdom 💥. Sudah hampir setahun, kami tinggal di London, tepatnya North London yang biasa dilalui jalur underground Northen Line. Meski berada di zona 4, kawasan yang kami tinggali ini cukup strategis dan nyaman, kapan-kapan aku tulis terpisah biar nggak kepanjangan, ya! Sebagai konteks, kami sekeluarga hijrah ke London karena Pak Baba sekolah lagi (kuliah S3) di kota ini. Jadi, aku dan anak-anak (((mendampingi))) agar beliau tenang dalam menuntut ilmu.
Bedanya London dengan Jogja
Tentulah #bundadaerah ini cukup syok kalcer, ya Bun, mendadak menjadi #bundametropop 😆👍. London dan Jogja sangatlah berbeza. Mungkin kalau tadinya dari Jakarta, nggak begitu kaget banget, karena sama-sama metropolitan dan kota besar.
Beda yang paling kentara dan aku suka banget adalah ... betapa metropop dan magrongnya London ini astegong, wakakak! Bahkan lebih besar dari Jakarta, ya. Ini sangat terasa saat kami jalan-jalan ke city centre, didukung juga dengan mudahnya berbagai transportasi umum yang terintegrasi. Mantap, kali! Selain itu, pemandangan multiras masih suka bikin amaze hingga sekarang. Aku sering berkomentar sendiri, "Ya ampun, macem-macem banget bentukan orangggg, ya!" Mulai dari wajah British, Timur Tengah, Asia, hingga Afrika. Juga, tentunya dengan gaya berpakaian masing-masing. Seru banget untuk dilihat (tidak untuk dikomen yah 🙏🏻). Nggak jarang aku membatin, ini kalau di Indonesia udah dirujak netijen cara pakai bajunya, wkwk!
Berikutnya adalah tata dan penampilan kotanya yang jelas jauh berbeda dengan Jogja. Meski hampir mungkin semua area itu ya sama saja, gaya-gaya klasik khas bangunan tua Eropa, tapi karena ini hal baru untukku, jadi masih memanjakan mata. Tata kotanya juga lebih rapi dan teratur, yang jelas ... hampir nggak pernah nggak lihat trotoar. Adanya hanya trotoar luas atau cukup. Pejalan kaki mulyo banget di sini.
Adaptasi kegiatan sehari-hari
Tadinya, aku adalah ibu bekerja yang menghabiskan waktu 8-5 di kantor. Begitu akan pindah ke London, aku memutuskan resign dan menjadi ibu rumah tangga. Sebuah mimpi yang sempat singgah setiap aku sutris dengan kerjaan kantor, sih, wkwkw. Bagaimana rasanya? Pegel! Hahaha. Serius, mungkin karena adaptasi dari yang biasanya seharian "cuma" duduk aja, lalu di sini jadi harus serba moger, ya? Aku terpaksa jalan kaki ke mana-mana karena tidak punya kendaraan, utamanya antar jemput anak sekolah dan belanja sehari-hari. Selain itu, pekerjaan rumah juga harus dikerjakan bersama-sama anggota keluarga (maksudku tanpa ART). Untungnya rumah sewa kami ini kecil, jadi bersihinnya juga nggak kiamat-kiamat banget 😅.
Meski pegel, dalam hati happy juga, ya Bun! Karena merasa terbebas dari beban pekerjaan kantoran yang sering kali bikin aku sutris (berapa kali lagi harus kubilang, maap wkwk). Keseharianku diisi dengan memasak, membereskan rumah, antar-jemput sekolah, belanja, and repeat. Kurang nongkrong gaul sama mamah-mamah walmur aja nih, yang nggak wkwk.
Lalu, nggak lama, aku memutuskan untuk jualan makanan homemade, ini setelah satu atau dua bulan kedatangan. Kira-kira, seminggu sekali aku akan masak sesuai pesanan dan mengantarkannya ke titik ketemuan dengan pembeli (sejauh ini pembeliku para mahasiswa). Eh, nggak lama, aku dapat tawaran pekerjaan parttime sebagai asisten koki di kafe Indonesia. Wah, senangnya! Lumayan, nggak ng-🍇🍇 amat, yah!
Karena ektiviti penuh pergerakan ini, sejak pindah hingga sekarang berat badanku turun hingga 14kg 🤣👍🏻. Sungguh, langsing hanya bonus itu nyata, wkwk. Rata-rata jalanku per hari sekitar 7.000 steps. Nggak banyak banget, sih. Tapi, lumayan cukup daripada sebelum London era.
Winter, Spring, Autumn, Summer, mending mana?
Of course, SUMMER!!!! Aku sudah tahu sebelumnya bahwa Inggris termasuk negara dengan cuaca yang dingin hampir setiap waktu. Sebenarnya, alasan cuaca ini juga membuatku dulu agak enggan memilih London (yang sekolah kan bukan elu bun? 🙏). Benar saja! Aku datang ketika memasuki autumn di bulan Oktober 2023, itu saja dinginnya sudah ya Allah ya Allah, pernah sampai 2 derajat celcius (autumn lho ini). Apalagi winter?? Nangis-nangis di dalam selimut, jujurly. Bahkan saat sekarang summer ini, hanya ada total dua minggu-an yang benar-benar panas menyengat ngentang-ngentang not public. Sisanya, gloomy, cloudy, adem. Cuaca bakso soto🙏.
Hanya bisa berharap tahun kedua dan seterusnya bisa lebih adaptif lagi meski nggak janji, huft.
Menyiasati biaya hidup yang serba mahal
Keluhan ini yang selalu muncul saat kali pertama ketemu sama orang baru, bahkan orang sini sekalipun, hehe. Jadi, yah, memanglah mau nggak mau harus hidup hemat. Dalam hatiku: sampai kapan ya aku hidup hemat mulu? Perasaan dulu di Jogja juga udah hidup hemat, baru agak lumayan mendingan dikit eh pindah ke London, wkwkwk. Eyalah nasib ... nasib!
Menurutku, caranya adalah dengan hidup hemat sewajarnya dan bekerja. Karena, kalau hemat-hemat banget yang sampai ngirit banget, rasanya kok nggak sanggup, ya? Meski rajin memasak, kami tetap butuh sekali-sekali jajan di luar. Meski transportasi umum cukup mahal, kami tetap butuh jalan-jalan minimal ke taman atau playground. Jadi, dengan adanya tambahan penghasilan, hidup bersahaja ala Londoners ini tetap bisa dilalui dengan ceria 😊. Sampai saat ini, aku menjalani dua pekerjaan parttime (jadi koki di kafe dan jaga warung minuman boba 😁), dan sesekali open PO katering masakan Indonesia.
Lagipula, bahan makanan mentah di sini termasuk terjangkau jika kita rajin memasak. Di sini nggak ada bahan makanan tertentu yang murah banget dibanding yang lain. Semua harganya standar rata-rata, jadi yah tetap bisa makan enak terus. Maksudku gini ... kalau di Jogja, misalnya mau ngirit kan bisa makan tahu atau tempe (bukan ayam, daging, ikan). Nah, kalau di sini, nggak ada juga yang murah, semurah-murahnya tetep ayam yang paling murah 😅. Tempe dan tahu lebih mahal.
Kalau butuh membeli barang kebutuhan yang harganya miring, di sini banyak toko barang secondhand untuk charity. Produknya mulai dari pakaian, mainan, buku, perkakas dapur, dll.
Yang susah disiasati itu biaya sewa rumah, karena termasuk pengeluaran wajib yang paling mahal. Untuk tinggal di zona 4 saja harus siapin sekitar 1800 ponds/bulan (2 kamar tidur).
Aku beberapa kali bertemu orang baru, dan ditanya, "Suka nggak tinggal di London?" Semuanya langsung kujawab, "Suka bangetttt!" Hahaha. Sejauh setahun pertama ini, aku merasa betah dan senang-senang aja tinggal di London. Meski semua hal harus dilakukan dengan efrot lebih, justru itu tantangan dan jadi hal baru yang seru. Meski begitu, bukan berarti aku nggak pernah merasa kangen rumah, ya. Ada sekitar dua atau tiga kali dalam setahun ini aku merasa sedih banget inget rumah, teman, dan keluarga di Indonesia. Namun, masih bisa teratasi dengan baik.
Segini dulu yang bisa kuceritain, karena sudah kepanjangan. Lain waktu akan kutulis cerita lainnya seputar pengalaman Londoners.
Happy 1st anniversary tinggal di London! 💖 Terima kasih untuk setahun yang luar biasa ini! Nggak sabar menanti kejutan-kejutan selanjutnya :).
Di depan Somerset House (King’s College London), Agustus 2024. |
Love,